top of page

Akuntabilitas Partai Politik di Indonesia


ruang parlemen

Indonesia mengalami perubahan-perubahan dalam sistem politik. Dari kekuasaan otoriter menuju sistem politik demokratis. Perubahan tersebut termasuk kebebasan berekspresi dan tuntutan kepada pemerintahan untuk lebih transparan dan akuntabel. Selama lebih dari 20 tahun setelah kejatuhan rezim Soeharto, praktik bagi sistem demokrasi yang lebih baik telah menerangi sejarah kontemporer negara kepulauan ini. Pada tahun pertama era reformasi, jumlah partai politik meningkat sampai lebih dari 40 partai dibanding sebelumnya pada era Soeharto. Saat itu, hanya tiga partai yang bersaing dalam pemilihan umum. Peningkatan jumlah partai politik dan kebebasan berekspresi juga telah membawa kepada peningkatan partisipasi politik rakyat. Dan Era Orde Baru Soeharto bisa dibilang mustahil ini terjadi dan reformasi membuatnya mungkin.


Di era reformasi demokrasi barulah terlihat dan sangat memberikan harapan baru. Hal itu ditandai dengan diadakannya pemilihan presiden secara langsung pada 2004 dengan terbuka dan diikuti oleh 24 partai. Pemilihan langsung kemudian meluas tidak hanya bagi pemilihan presiden, melainkan juga terutama di tingkat daerah dengan di lakukannya Pilkada, daerah, dari gubernur sampai kepala-kepala desa—dengan proses nominasi yang berbeda-beda. Pemilihan-pemilihan umum langsung ini mendorong partai politik untuk bekerja ekstra keras, menempatkan sebanyak mungkin pemimpin menjabat baik di cabang-cabang pusat maupun daerah dalam pemerintahan, untuk memastikan posisi mereka sebagai partai politik kuat di negeri ini.


Namun, persoalan tetap ada. Harapan publik bagi pemerintahan yang bersih dan akuntabel jauh panggang dari api. Partai politik diharapkan untuk mendorong pemerintahan yang akuntabel dengan cara pemilihan umum, tetapi mereka tidak berfungsi dengan baik. Pola rekrutmen mereka lemah dan kekuatan finansial mereka tidak kuat. Subsidi pemerintah bagi partai politik tampak tidak cukup untuk mendanai pemilihan umum yang berbiaya tinggi baik di tataran nasional maupun lokal.


Peran Partai Politik untuk Mempromosikan Akuntabilitas

Menurut Mietzner (2007), salah satu prasyarat terpenting bagi keberhasilan transisi demokratis adalah kemampuan negara untuk menjalankan mekanisme pendanaan yang transparan bagi aktor-aktor politik utama. Partai-partai politik di rezim-rezim otoriter bergantung pada patronase finansial yang dikeluarkan oleh penguasa kuat, atau didorong untuk mengumpulkan dana mereka sendiri melalui intimidasi, pemerasan atau korupsi. Mietzner melanjutkan bahwa memperbaiki manajemen keuangan partai atau kelompok-kelompok politik biasanya muncul sebagai prioritas kebijakan mendesak. Jika reformasi gagal, hal itu akan menggerogoti transisi demokrasi secara serius (Mietzner, 2008). Partai-partai politik sebagai wahana utama perubahan dalam negara-negara transisional, dapat berubah menjadi mesin-mesin elektoral korup bagi elite-elite lama. Akibatnya, gagal menjalankan fungsi mereka sebagai agregasi dan representasi politik (Mietzner, 2008).


Jelas tidak mungkin untuk membubarkan partai politik, bahkan jika mereka merupakan agensi-agensi korup. Mulgan (2003), menyatakan bahwa kekuasaan langsung dari rakyat harus bersandar nyaris sepenuhnya kepada para politisi dan birokrat profesional. Dengan begitu, institusi-institusi spesialis menjadi semakin penting sebagai sarana di mana publik dapat mencoba menjaga pemerintah mereka tidak keluar jalur (Mulgan, 2003). Mekanisme utama bagi akuntabilitas adalah menyelenggarakan pemilihan umum demokratis. Para pemimpin pemerintahan petahana diharuskan menjelaskan masa jabatan mereka dan menghadapi potensi penurunan oleh para pemilih (Mulgan, 2003). Akuntabilitas adalah apa yang mendorong deliberasi dan partisipasi publik (Mulgan, 2003).


Di negara-negara yang melakukan transisi dari otoritarianisme ke demokrasi, partai politik menjadi penting untuk membuat masyarakat demokratis berjalan sepenuhnya (Mainwaring dan Sculy, 1995). O’Donell dan Schmitter (1986) menegaskan bahwa bukan partai politik yang dapat menumbangkan kediktatoran, tetapi kepada partai politiklah seorang pengamat harus mencari untuk mengamati inti konsolidasi demokratis yang terang dalam transisi dari kekuasaan otoriter. Konsolidasi dengan demikian, membutuhkan partai-partai politik untuk membangun sebuah sistem kompetisi baru demi mendapatkan kekuasaan politik.


Sebagai sarana untuk mengumpulkan aspirasi, artikulasi dan agregasi kepentingan, partai politik memiliki peran penting dalam proses pembuatan kebijakan. Webb dan White (2007) menyatakan bahwa sebuah partai butuh untuk diinstitusionalisasikan. Namun, hal tersebut melalui satu syarat. Yaitu, warga negara menganggap partai-partai sebagai komponen penting dari sebuah sistem politik demokratis yang patut ditiru. Indonesia, dan secara umum, partai politik dan sistem kepartaian di Asia, kerap digambarkan oleh para ilmuwan sebagai tidak terinstitusionalisasi dengan baik (Mietzner, 2007).


Dalam sebuah pemilihan umum, pemerintahan petahana perlu mempertahankan rekam jejak mereka menghadapi lawan yang ingin memblejeti setiap kelemahan mereka (Mulgan, 2003). Pemilihan umum dengan begitu memberikan contoh klasik dari akuntabilitas politik di mana arah politik umum dan nilai-nilai diperdebatkan oleh seluruh anggota masyarakat. Pemilihan umum menawarkan kesempatan dan perbaikan sebab pemerintahan petahan tidak hanya harus membenarkan rekam jejak mereka tetapi menghadapi pula kemungkinan pelengseran dari jabatan (Mulgan, 2003). Partai-partai politik memediasi tekanan elektoral dari para pemilih untuk menegakkan akuntabilitas pemerintah mereka (Mulgan, 2003). Partai-partai bertindak sebagai saluran penting bagi opini publik, menjaga para pemimpin partai bersentuhan dengan kepentingan para pemilih, berfungsi sebagai agensi akuntabilitas publik, bekerja sama dengan mesin pemilihan, menegakkan akuntabilitas pemerintah atas nama para pemilih (Mulgan, 2003).


Era pascareformasi telah menyaksikan bagaimana partai politik menerima kritik keras dari media, akademisi, dan pemilih. Pada umumnya, publik menganggap partai-partai politik sebagai salah satu lembaga terkorup di Indonesia. Kasus-kasus korupsi yang dilayangkan terhadap politisi partai memperkuat anggapan-anggapan ini (Sebastian, 2010). Menurut Mietzner (2007), para politisi partai telah terlibat dalam ‘politik uang’ dan didakwa melakukan praktik ganda menerima suap dari para pendukung di kalangan pengusaha dan mendistribusikan uang untuk meraih atau mempertahankan posisi-posisi politik. Sebagaimana dikatakan Mietzner (2007), partai-partai politik lebih jauh digambarkan sebagai ‘entitas pemburu rente’ yang dikemudikan oleh kepentingan oligarki dan ketamakan pribadi.


Bagi Mwangi (2008), keuangan merupakan aspek utama bagi partai politik. Partai-partai membutuhkan pendanaan agar dapat bertahan, bersaing, dan menjalankan fungsi-fungsi demokratis mereka (Bryan dan Baer, 2005). Gelombang demokratisasi telah mengubah banyak negara menuju sistem multi-partai di mana kebanyakan partai politik mendapatkan dukungan dari subsidi-subsidi negara (Austin dan Tjernstrom, 2005). Sebelum subsidi-subsidi pemerintah, keanggotaan partai merupakan sumber utama pendanaan dari seluruh kegiatan partai politik (Mas’oed dan Savirani, 2011).


Sebagai hasil dari demokrasi elektoral berbiaya tinggi, partai-partai politik perlu mencari sumber-sumber pendanaan lain di samping subsidi pemerintah. Dalam konteks Indonesia, berdasarkan peraturan pemerintah No. 51/2001, partai-partai mendapatkan subsidi dari negara senilai Rp1.000 per pemilih pada pemilihan umum 2004 (Mas’oed dan Savirani, 2011). Meski hal ini merupakan subsidi sistematik pertama bagi partai-partai politik dalam sejarah Indonesia, partai-partai politik kemudian menghadapi tantangan baru dalam bentuk penurunan subsidi dalam persaingan politik (Mas’oed dan Savirani, 2011). Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan formula dalam penggelontoran subsidi negara, dari berbasis pemilih ke berbasis kursi, sebagaimana diatur oleh peraturan pemerintah No. 29/2005 (Mas’oed dan Savirani, 2011). Alhasil, total subsidi negara menurun 89% sejak sebelum 2005 dari Rp105 miliar menjadi Rp10,5 miliar (Mietzner, 2007). Pada tataran lokal, pendanaan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pemilihan umum daerah lebih sedikit dibanding dengan tataran nasional.


Faktor-faktor ini, menurut Mietzner (2007), telah memaksa partai-partai politik untuk mencari sumber-sumber pendanaan alternatif untuk mempertahankan kegiatan-kegiatan mereka. Mietzner menegaskan bahwa kebutuhan mencari sumber-sumber pendanaan lain kerap membawa kepada praktik-praktik korup, seperti politik uang dan penggunaan fasilitas negara selama pemilihan umum. Mietzner mencermati pemilihan umum 1999, partai-partai politik Indonesia menghadapi lebih banyak tantangan untuk mempertahankan jabatan, termasuk meningkatkan persaingan disebabkan peningkatan luar biasa dari jumlah partai politik. Sebelumnya 3 partai pada 1997 menjadi 24 partai pada pemilihan umum 2009. Pada saat bersamaan, ada peningkatan frekuensi pemilihan legislatif, presiden dan daerah. Angka pemilihan umum yang meningkat telah pula meningkatkan dana yang dibutuhkan oleh partai-partai politik (Mietzner, 2007).


Untuk mencari sumber-sumber pendanaan lain yang dibutuhkan, parpol cenderung mencari bantuan dari kaum kapitalis. Dengan begitu, peran kapitalis menjadi sangat penting untuk mendanai kegiatan partai politik. Kelindan antara politik dan bisnis bukanlah hal baru di Indonesia. Hadiz dan Robison (2004) menyatakan bahwa aktor-aktor bisnis juga merupakan aktor-aktor politik. Kebanyakan mereka aktor-aktor yang erat kaitannya dengan elite-elite nasional. Beberapa dari mereka merupakan bekas pejuang kemerdekaan yang telah mendapatkan kekuasaan setelah kemerdekaan. Untuk mempertahankan sumber daya yang telah mereka dapatkan dari negara, aktor-aktor bisnis kemudian menjadi politisi, atau setidaknya mempertahankan kedekatan dengan negara (Mas’oed dan Savirani, 2011). Mereka menjadi, sebagaimana dikatakan Robinson (1986), ‘kaum kapitalis birokratik’. Pada era reformasi, jejaring ini bertahan dan mengubah diri mereka sendiri menjadi ‘predator’ dan ‘oligarki swasta’ (Hadiz dan Robison, 2004). Kelindan antara aktor bisnis dan politik ini membuat partai-partai politik tidak dapat diharapkan menjadi akuntabel.


Partai-partai politik yang korup akan melemahkan masyarakat demokratis. Untuk mencegah korupsi lebih lanjut, masyarakat-masyarakat demokratis perlu memperbaiki sistem pemilihan umum dan sistem kepartaian mereka. Bagi Mulgan (2003), ada banyak agensi atau badan pengawas yang dapat memperbaiki pemilihan umum dan akuntabilitas partai politik. Mulgan merujuk kepada Ombudsman atau Komisi Pemilihan Umum (2003). Dalam pengertian politisi dan partai politik, investigasi dapat dijalankan oleh komisi pemilihan umum. Komisi pemilihan umum mengatur pelaksanaan pemilihan umum dan pendanaan partai-partai politik. Investigasi juga dapat dilakukan oleh komisi anti korupsi dan komisi anti diskriminasi, atau diawasi oleh badan investigasi dan pengawas eksternal (Mulgan, 2003).


Dalam konteks Indonesia, beberapa badan penting dapat digunakan untuk meningkatkan akuntabilitas pemilihan umum dan partai-partai politik. Tidak ada kedaruratan untuk membentuk badan-badan baru demi mengawasi akuntabilitas partai-partai politik. Memperkuat lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Komite Independen Pengawas Pemilu (KIPP) adalah apa yang dibutuhkan negeri ini untuk mengawasi sumber pendanaan politisi dan partai-partai politik demi mendapatkan pemilihan umum yang adil dan akuntabel.


Reformasi telah menyaksikan ketidakefektifan sistem multi-partai. Dalam hal tersebut, jumlah partai politik harus dikurangi melalui konsolidasi. Konsolidasi partai-partai politik dapat berdasarkan platform ideologis, sama seperti yang dilakukan Orde Baru dengan membagi partai menjadi tiga, tetapi dengan cara yang lebih transparan dan akuntabel. Dan sebuah upaya untuk mendorong konsolidasi, apa yang disebut ambang parlemen yang pertama kali diperkenalkan pada pemilihan umum 2009, yaitu hanya partai-partai politik yang mendapatkan lebih dari 2,5% total suara nasional berhak mendapatkan kursi di badan legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jumlah partai politik yang bersaing pada pemilihan umum 2014 memang menurun sampai menjadi 12 dari 38 pada 2009. Namun, kemudian bertambah lagi menjadi 16 pada 2019 meski ambang batas naik menjadi 4%. Hal ini sebagiannya disebabkan oleh penerapan terbatas ambang batas pada tataran legislatif nasional. Sementara ambang batas tidak diterapkan dalam perhitungan kursi di tataran legislatif rendah. Sementara jumlah partai-partai politik di DPR stabil atau berada di bawah 10 dalam tiga kali masa pemilihan umum. Akuntabilitas aktor-aktor politik belum membaik, yang ditunjukkan oleh penangkapan terus menerus dari para pejabat terpilih atas kasus-kasus penyogokan dan korupsi.


Tentu saja, sistem pemilihan umum Indonesia sudah jauh lebih baik dibanding era Soeharto. Namun, perbaikan tetap diperlukan. Dalam pengertian menghasilkan para pemimpin masa depan, partai-partai politik harus mampu menjalankan fungsi mereka dan memilih kandidat-kandidat dengan standar akuntabilitas tinggi. Dengan begitu, sistem pemilihan umum dan sistem kepartaian harus dibuat sederhana untuk mengurangi biaya politik secara signifikan. Meningkatnya pendanaan negara bagi partai-partai politik diyakini sebagai alternatif untuk mencegah hubungan merusak antara partai/aktor politik dengan para kapitalis. Sebab, mereka akan dipaksa untuk menjalankan akuntabilitas dengan jumlah sokongan negara yang lebih besar. Ada satu prasyarat untuk menjalankan hal ini, yaitu transparansi keuangan partai/aktor politik. Partai-partai politik harus melakukan tindakan mencegah praktik-praktik korup di antara anggota-anggota mereka. Memperkuat peran media yang bebas dan mandiri serta organisasi-organisasi masyarakat sipil juga penting untuk mengawasi proses pemilihan umum yang adil, transparan, dan akuntabel. Pembukaan data (open data), yang memberikan akses dan memberikan transparansi data, harus tersedia bagi media massa dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Data-data tersebut dapat mereka gunakan untuk mengkritisi dan mengontrol para pejabat yang terpilih.

bottom of page